Sistem Pendidikan
Keperawatan di Indonesia
Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang
kesehatan pada era globalisasi akan berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan.
Masyarakat lebih menuntut pelayanan yang berkualitas serta
sanggup memenuhi kebutuhan klien. Kepuasan pasien merupakan salah satu
indicator untuk mengukur berkualitas atau tidak suatu pelayanan kesehatan tersebut.
Kepuasan yang dialami oleh pasien sangat berkaitan erat dengan kualitas
pelayanan yang diberikan oleh perawat, mengingat perawat selama 24 jam
secara berkesinambungan mengetahui kondisi pasien dan merupakan ujung tombak
dalam pelayanan kesehatan. Ditambah lagi dari hasil penelitian Zahrotul (2008)
diketahui bahwa kualitas pelayanan perawat memberi sumbangan efektif sebesar
74,4 % terhadap kepuasan pasien. Peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap
layanan kesehatan yang berkualitas sudah barang tentu membutuhkan dukungan
sumber daya manusia keperawatan yang professional juga. Tenaga keperawatan yang
profesional hanya bisa dilahirkan dari suatu sistem pendidikan keperawatan
profesional yang sesuai dengan bidang keilmuannya.
Bicara masalah sistem pendidikan kesehatan
profesional , tidak terlepas pada tujuan akhir dari penyelenggaraan sistem
pendidikan ini yaitu terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan seluruh masyarakat
Indonesia sesuai dengan tujuan pembangunan kesehatan dalam Sistem
Kesehatan Nasional (SKN). Terciptanya tujuan sistem kesehatan
nasional tersebut apabila terjadi kordinasi, integrasi, sinkronasi,
dan sinergisme (KISS) yang berfungsi dengan baik , baik itu antar pelaku, antar
subsistem SKN, maupun dengan subsistem lain diluar SKN. Keperawatan
sebagai salah satu subsistem SKN merupakan komponen pembangunan kesehatan,
sekaligus bagian integral dari SKN yang mempunyai tanggung jawab moral dalam
pembangunan kesehatan . Tanggung jawab moral ini salah satunya bisa
diwujudkan dalam kemandirian mengatur kehidupan profesi melalui
pengembangan proses profesionalisme keperawatan yang diawali dengan perbaikan
sistem pendidikan keperawatannya.
Dalam perkembangannya, sistem pendidikan
keperawatan mulai berusaha bangkit dari ketertinggalannya dengan profesi
kesehatan lain di Indonesia, walaupun tidak telepas dari tantangan dan hambatan
baik dari eksternal maupun internal profesi ini sendiri. Berawal dari tahun
1800-an di sebuah rumah sakit Batavia yang sekarang dikenal dengan Rumah Sakit
PGI Cikini Jakarta, dimulailah pendidikan kekhususan paramedis yang
terbagi menjadi pendidikan untuk menjadi mantri cacar, tenaga perawat
berijazah Eropa, tenaga perawat berijazah Hindia-Belanda, dan pendidikan mantri
malaria. Juru rawat, untuk sebutan pada saat itu juga banyak dilibatkan
dalam medan perang untuk melakukan berbagai kegiatan, mulai dari mengangkat
korban, mengobati, memindahkan ketempat yang lebih aman sampai memakamkan
korban yang meninggal.
Setelah kemerdekaan sampai dengan tahun 1965,
perawat tidak banyak mengalami kemajuan.Pada tahun 1953 dibuka Sekolah Pengatur Rawat
(SPR) dengan latar belakang sekolah menengah pertama dan lama pendidikan 3
tahun yang dibuka di 3 wilayah yaitu Jakarta, Bandung dan Surabaya.Tahun 1955, dibuka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK)
dengan latar belakang pendidikan dasar (Sekolah Rakyat) ditambah satu tahun.
Pada masa ini tampak bahwa perkembangan keperawatan masih sangat tertinggal
sehingga pada tahun 1960-an dikenal berbagai jenis tenaga perawat sampai lebih
dari 20 jenis. Pembukaan institusi keperawatan dilaksanakan hanya
berdasarkan kebutuhan rumah sakit setempat saja karena landasan keilmuan yang
kurang kokoh, hanya bersifat sebagai suplementer dibawah suvervisi tenaga
kesehatan lain. Situasi tersebut mendorong Departemen Kesehatan mengembangkan
pendidikan keperawatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan pelayanan masyarakat.
Sehingga dibukalah Akademi Keperawatan di lingkungan Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo Jakarta pada tahun 1962 dengan latar belakang pendidikan
sekolah menengah atas ditambah dengan pendidikan keperawatan 3 tahun. Pada
tahun 1983 merupakan periode kebangkitan, dimana pada Lokakarya Nasional
Keperawatan oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) disepakati
bahwa keperawatan adalah profesi dan pendidikan keperawatan berada pada
pendidikan tinggi (Gaffar, 1999). Hasil kesepakatan tersebut diaplikasikan
dengan pendirian Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia pada tahun 1985, yang merupakan pendidikan tinggi keperawatan strata
satu pertama di Indonesia.
Pengakuan kedudukan keperawatan diperkuat lagi
dengan diakuinya perawat sebagai profesi pada Undang-Undang Kesehatan No.23
Tahun 1992 serta dijabarkan keberadaan profesi perawat sebagai satu dari enam
kelompok profesi kesehatan yang ada di Indonesia pada Peraturan Pemerintah No.
32 Tahun 1996. Pengakuan keperawatan sebagai profesi tersebut merupakan angin
segar bagi profesi keperawatan untuk mengembangkan diri secara mandiri,
sehingga mendorong organisasi profesi untuk menata kategori jenis pendididikan
yang ada menjadi dua kategori yaitu vokasional dan profesional.
Akan tetapi, angin segar ini ternyata tidak
selalu berhembus. Seiring dengan keinginan perawat untuk mereformasi proses
profesionalismenya, berbagai permasalahan mulai muncul terkait sistem
pendidikan keperawatan ini. Mulai dari yang paling klasik mengenai belum
sepenuhnya pengakuan terhadap profesi ini diberikan oleh pemerintah,
heterogenitas jenjang pendidikan keperawatan yang berimplikasi pada mentalitas
dan pola kerja perawat yang kurang professional di pelayanan kesehatan, tidak
seimbangnya daya serap tenaga keperawatan dan keluarannya, sampai kepada kurang
terintegrasinya pelayanan dan pendidikan keperawatan professional. Ironisnya,
sistem pendidikan keperawatan yang menjadi penyokong utama tegaknya profesi
inipun masih mencari bentuk aplikasi yang paling cocok. Standar pendidikan
keperawatan baru menyentuh satu- persatu institusi pendidikan besar. Padahal,
dalam kenyataannya pertumbuhan institusi keperawatan saat ini, bak
jamur dimusim hujan. Keadaan ini, tidak terlepas dari peran pemerintah yang
tidak melibatkan sepenuhnya profesi perawat dalam mengambil kebijakan, padahal
yang memahami ilmu mengenai rumah tangga profesi itu adalah profesi itu
sendiri. Kebijakan-kebijakan pemerintah melalui perpanjangan tangannya
terkadang menunjukan ketidakberpihakannya kepada perawat. Kebijakan yang ada
belum banyak berpihak pada keadilan, sosial, ekonomi, dan hukum bagi perawat.
Hal ini terlihat ketika disyahkannya D.IV sebagai salah satu jenjang perawat
oleh depkes, padahal profesi perawat sedang menata kategori jenjang perawat
menjadi D.III dan Sarjana. Parahnya lagi, pendirian pendidikan tinggi
keperawatan berasal dari pelaku bisnis murni dan profesi non keperawatan,
sehingga pemahaman tentang hakikat profesi keperawatan dan arah pengembangan
perguruan tinggi keperawatan kurang dipahami. Belum lagi sarana dan prasaranan
cenderung untuk dipaksakan. Kalaupun ada sangat terbatas ( Yusuf, 2006).Belum
adanya legislasi yang kuat berupa Undang-Undang untuk mengatur keberadaan
konsil keperawatan juga menjadi hambatan profesi ini untuk berkembang. Hal
ini akan berefek pada mutu pelayanan keperawatan, karena keberadaan konsil
salah satunya untuk melakukan uji kompetensi dan registrasi perawat.
Standar kompetensi di Indonesia tidak diakui
oleh dunia internasional, kemampuan bahasa inggris yang lemah (TOEFL,
IELTS), dan ketrampilan keperawatan yang juga masih rendah. Hal ini
dilihat dari hasil skoring NCLEX (The National Council Licensure Examination)
sekitar 40, padahal yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50–70 dan AS
antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007). Tidak sampai disini saja, baru-baru
ini ada sekitar 700 perawat Indonesia di Kuwait yang nasibnya terkatung-katung
terancam dideportasi karena terhalang akreditasi (Kompas, 2011). Hal ini karena
masih simpang siurnya pengaturan sistem pendidikan tinggi keperawatan serta
belum adanya perlindungan hukum yang kuat bagi perawat yang akan bekerja diluar
negri. Padahal, AFTA 2010 yang merupakan aplikasi dari ditandatanganinya Mutual
Recognicion Arrangement (MRA) di Philipina 2006 sudah berlaku.
Perawat merupakan tenaga kesehatan terbesar dari
seluruh tenaga kesehatan dimana 80 % kegiatan pelayanan di rumah sakit adalah
pelayanan asuhan keperawatan (Gilles, 2000). Dengan karakteristik pelayanan
yang kontinu, sangat dekat dan lama dengan pasien serta cakupan praktik
yang luas tidak terbatas pada kondisi geografis dan social ekonomi, pelayanan
keperawatan yang diberikan harus berkualitas dan melindungi pasien. Hal ini
dilakukan karena akan berpengaruh langsung terhadap pencapaian tujuan
pembangunan kesehatan yaitu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Akan tetapi, tidak adanya pengaturan yang kuat untuk menjamin kompetensi dan
kualitas asuhan keperawatan yang diberikan serta perlindungan dalam melayani
masyarakat tersebut, akan membuat kompetensi dan citra pelayanan keperawatan
semakin buruk yang berefek pada pelayanan kesehatan secara umum.
Survei 2010 menyatakan bahwa ada kesenjangan
antara harapan masyarakat dengan kompetensi perawat saat ini yaitu 92,3 % :
68,7 %. Selain itu, pengakuan kompetensi perawat didunia internasionalpun tidak
terlalu menggembirakan. Standar kompetensi di Indonesia tidak diakui oleh
dunia internasional, kemampuan bahasa inggris yang lemah (TOEFL,
IELTS), dan ketrampilan keperawatan yang juga masih rendah. Hal ini
dilihat dari hasil skoring NCLEX (The National Council Licensure Examination)
sekitar 40, padahal yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara 50–70 dan AS
antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007). Tidak sampai disini saja, baru-baru
ini ada sekitar 700 perawat Indonesia di Kuwait yang nasibnya terkatung-katung
terancam deportasi karena terhalang akreditasi (Kompas, 2011). Hal ini karena
masih simpang siurnya pengaturan sistem pendidikan tinggi keperawatan serta
belum adanya perlindungan hukum yang kuat bagi perawat yang akan bekerja diluar
negri. Padahal, AFTA 2010 yang merupakan aplikasi dari ditandatanganinya Mutual
Recognicion Arrangement (MRA) di Philipina 2006 sudah berlaku. Dibukanya pasar
bebas bagi perawat Indonesia ini tidak diimbangi dengan penataan sistem
pendidikan keperawatan serta pemberian jaminan perlindungan hukum yang kuat
oleh pemerintah.
Berdasarkan penjelasan mengenai sistem
pendidikan keperawatan Indonesia diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa
sistem pendidikan keperawatan di Indonesia belum sepenuhnya menjawab kebutuhan
profesi dan bangsa. Hal ini terjadi karena kurang dilibatkannya organisasi
profesi keperawatan oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan yang menyokong
kearah perkembangan profesionalisme keperawatan. Pengakuan keperawatan sebagai
sebuah profesi serta jumlah perawat yang mendominasi tenaga kesehatan yaitu 60
% belum sepenuhnya termanfaatkan dengan optimal oleh penyelenggara negara. Jika
hal ini dibiarkan dalam jangka panjang, maka akan sulit untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan nasional yaitu mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
Referensi
Ali, Zaidin H., (2000). Dasar-Dasar
Keperawatan Profesional. Jakarta : Widya Medika
Blais, Kathleen koenig, dkk,. (2002).
Praktik Keperawatan Profesional :Konsep & Perspektif. (Edisi 4). Jakarta : EGC
Deloughery, G.L. (1991), Issues and Trends in Nursing, Mosby Year
Book, St Louis Baltimore.
Gaffar, La Ode Jumadi. (1999).
Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta : EGC
Priharjo Robert, (2005). Konsep dan
Perspektif : Praktik Keperawatan Profesional. (Edisi 2). Jakarta : EGC
Reed, Pamela G
(2003), Perspectives on Nursing Theory,
Philadelphia : Lippincot Williams and
Wilkins
Soewandi, J (1991), Ringkasan Sejarah
Keperawatan, Batara, Jakarta
Yunarsih, S, Diktat Kuliah : Sejarah
Keperawatan, Jakarta, tidak dipublikasikan.
No comments:
Post a Comment